Kamis, 08 Maret 2012

Menggagas Nasionalisme Humanis Bung Karno

Menggagas Nasionalisme Humanis Bung Karno

KESENGSARAAN dan penderitaan rakyat Indonesia dan masyarakat dunia ketiga, tidak hanya melahirkan pemikiran humanisme universal. Kedua etos itu melahirkan gagasan nasionalisme humanis yang merupakan kritik terhadap nasionalisme barat yang agresif, dan didorong oleh etos kapitalisme yang kemudian melahirkan imperialisme modern. Imperialisme inilah, diyakini Bung Karno sebagai penyebab masyarakat negara-negara dunia ketiga sulit ke luar dari kemelut kemiskinan dan keterbelakangan. Kritik terhadap nasionalisme barat inilah, yang menjadi gagasan utama nasionalisme humanis Bung Karno.

Pengantar
Nasionalisme humanis dibangun atas dasar prinsip, setiap bangsa mampu memberikan sumbangan dalam menegakkan harkat dan martabat manusia, serta untuk pengembangan nilai-nilai humanisme sesuai dengan karakteristik dan sifat-sifat bangsa itu. Tidak hanya paham kebebasan, keadilan dan kesetaraan, tetapi paham toleransi adalah hal yang perlu mendapat perhatian dalam tata pergaulan internasional. Nasionalisme yang berlandaskan pada toleransi ini tidak hanya dapat menciptakan perdamaian dunia, tetapi dapat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Gagasan nasionalisme humanis itu merupakan garis besar pemikiran Bung Karno yang didiskusikan dalam tulisan ini.

Nilai humanisme Meskipun dalam berbagai tulisan dapat ditelusuri, bahwa dasar pemikiran Bung Karno sarat dengan muatan nilai-nilai kemanusiaan hakiki bersifat universal, prinsip utama (asas) pemikiran bersumber pada tuntutan hati/budi nurani manusia (the social consicience of man). Tidak mengherankan bila Bung Karno muda dari awal berjuang, senantiasa menegaskan tuntutan revolusi rakyat Indonesia. Tidak hanya sekadar merdeka, tetapi lebih dari itu yaitu memperjuangkan kebebasan sesuai dengan kodrat manusia (hak-hak asasi manusia). Pemikiran ini tercermin antara lain dalam pidato Bung Karno.
"....bahwa revolusi kita ini adalah sebagian saja daripada revolusi kemanusiaan. Cita-cita revolusi kita adalah, kataku, konggruen dengan the social consicience of man".

"....bahwa semboyan kita adalah freedom to be free, bebas untuk merdeka. Buat apa ada freedom of speech, freedom of creed, freedom from want, freedom of form fear, jikalau tidak ada kebebasan untuk merdeka".

Setidaknya kutipan di atas dapat dimaknai, perjuangan rakyat Indonesia yang dikobarkan Bung Karno tidak hanya sebatas merebut kemerdekaan dari kolonial dan tercukupinya sandang pangan, tetapi juga sebuah perjuangan aspirasi kemanusiaan yang di dalamnya terkandung perjuangan untuk menegakkan harkat dan martabat manusia. Tidak mengherankan bila arah perjuangan Bung Karno adalah pembebasan anak manusia dari segala macam bentuk penindasan dan ketidakadilan.

Di masa kolonial
Tahap awal perjuangan, Bung Karno muda berupaya membekali diri dengan pengetahuan tentang sosialis liberal, seluk beluk sistem Imperialisme, memahami kerangka analisis (epistimologis) Marxian, memperkaya pengalaman empiris, serta berusaha memahami realitas sosial dinamika kehidupan masyarakat, internasional dan nasional, pada awal dan pertengahan abad ke- 20. Berdasarkan pengetahuan itu Bung Karno berusaha mengkonstruksi sistem pengetahuan dan memformulasikan plat form perjuangan untuk membebaskan Indonesia dari penindasan kolonial. Plat form dirumuskan dalam bentuk azas Marhaenisme sebagai landasan organisasi perjuangan (PNI).

Plat form disusun berdasarkan realitas sosial bahwa tanpa melakukan perlawanan secara revolusioner terhadap feodalisme, kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme sangat tidak mungkin membebaskan anak bangsa dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan penindasan manusia atas manusia, serta penindasan bangsa atas bangsa. Pemikiran ini dijadikan konsep dasar dalam menentukan strategi dan arah perjuangan. Pada tahap ini Bung Karno merumuskan pemikiran itu ke dalam asas Marhaenisme.

Asas Marhaenisme bila ditelusuri dari berbagai tulisan Bung Karno, mengandung sosio-nasionalisme dan sosio demokrasi. Karena dalam asas Marhaenisme sarat dengan nuansa untuk memperjuangkan kepentingan kaum tertindas, dengan upaya menghapuskan pemerasan dan mempersatukan semua golongan yang tertindas (Marhaen). Mempersatukan kekuatan semua golongan tertindas yang antikapitalis dan imperialis, tampaknya, diletakkan sebagai pilar utama untuk memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan.

Pada masa perjuangan mencapai kemerdekaan, di tataran nasional semangat Marhaenisme dijadikan kekuatan ideologi dalam menggalang dan menyusun kekuatan (machtsvorming), dan mengarahkan kekuatan masa aksi untuk melawan dan melepaskan diri dari penjajahan. Kesadaran politik kolektif kaum Marhaen yang tertindas, dijadikan alat perekat dalam membangun semangat kerjasama dan gotong royong untuk mencapai tujuan perjuangan, yakni merebut kekuasaan dalam upaya melepaskan diri dari belenggu kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme.

Di ambang pintu kemerdekaan, pemikiran Bung Karno itu menjadi sumber inspirasi dalam merumuskan dasar negara, Pancasila. Pancasila dasar negara yang di dalamnya terkandung semangat toleransi "semua buat semua". Pemikiran itu jelas sebagai upaya untuk menyatukan semua golongan dan menyatukan semua kepentingan golongan ke dalam satu kepentingan bangsa, dengan semboyan berbeda-beda tetapi satu (Bhineka Tunggal Ika). Pancasila sebagai perekat kepentingan bangsa mengandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan (humanistik), kebangsaan (persatuan), demokrasi dan keadilan.

Pascakemerdekaan
Setelah kemerdekaan dicapai dan dapat dipertahankan, cita-cita luhur untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan universal mulai diperjuangkan. Usaha-usaha perbaikan sosial menuju kehidupan lebih manusiawi terus ditegakkan. Salah satu upaya untuk mencapai gagasan itu, diwujudkan dengan melawan kekuatan kolonialis, kapitalis, imperialis, melalui penggalangan kekuatan bangsa-bangsa tertindas melalui gerakan non-blok yang diawali dengan konsperensi Asia Afrika di Bandung. Gerakan ini melahirkan kesepakatan-kesepakatan penting menyangkut nasib bangsa-bangsa terjajah.

Penggalangan kekuatan nasionalisme negara-negara tertindas ini, menyebabkan kolonialisme penjajah berangsur-angsur runtuh ditandai dengan lenyapnya penjajahan, dan satu per satu bangsa-bangsa Asia Afrika merdeka dan terbebas dari belenggu penjajahan yang menyengsarakan.

Setelah itu konstelasi masyarakat internasional mengalami perubahan. Meskipun kemerdekaan telah terwujud, tetapi kolonialisme dan imperialisme tetap eksis. Melalui metamorfosa institusi, kapitalisme dan imperialisme menjelma menjadi apa yang diyakini Bung Karno sebagai kapitalisme modern dan imperialisme modern. Memanfaatkan lembaga-lembaga internasional (PBB, IMF, dll), perusahaan multi dan trans nasional praktek imperialisme tetap eksis, dan dengan berbagai upaya berusaha mendominasi serta mensubordinasi bangsa-bangsa baru merdeka dunia ketiga. Dominasi tidak secara fisik lagi, tetapi lebih bersifat ideologi di bungkus teori mission sacree (misi suci) melalui kebijakan politik, ekonomi, sosial budaya dan teknologi.

Tesis Bung Karno tentang ancaman berubahnya imperialis dari tua ke modern yang dipikirkan pada tahun 1930 an, menunjukkan kebenarannya saat ini. Menurut keyakinan Bung Karno, Indonesia tidak akan bisa keluar dari berbagai bencana, meskipun imperialisme overheersen (memerintah) telah hilang, karena imperialisme beheersen (menguasai) akan dan telah siap menggantikannya.

Dalam konteks kekinian, realitas ini mengandung makna bahwa imperialisme overheerseen (memerintah) atau dominasi secara perlahan digantikan oleh imperialisme beheersen (menguasai). Imperialisme beheersen mempunyai kemiripan dengan terminologi Gramsci, hegemoni. Melalui hegemoni, sistem kapitalisme dan imperialisme menyusup secara perlahan melalui media institusi ekonomi, sosial, politik, budaya, dan teknologi.

Dengan bahasa yang berbeda, Bung Karno menggambarkan bahwa imperialisme modern menjadikan Indonesia sebagai daerah penanaman modal (daerah pengusahaan dari kapital lebih) dalam kegiatan perdagangan dan industri, membuat rakyat menjadi bodoh dan kehilangan enersinya.

Ketika konstelasi politik dunia masih diwarnai oleh dua kekuatan ideologis, yaitu ideologi kapitalisme dan komunisme, masyarakat dunia mengalami perang dingin. Kedua kekuatan itu secara nyata berusaha dengan berbagai cara untuk mendominasi dunia. Dalam menyikapi situasi perang dingin itu dan tetap berpegang teguh pada tuntutan hati/budi nurani manusia, yakni pembebasan dari penindasan, eksploitasi kapitalis dan imperialis serta untuk menciptakan perdamaian dunia, Bung Karno berusaha mengembangkan beberapa pemikiran.

Pertama, pada tataran internasional Bung Karno berusaha membangun kekuatan politik dengan menggalang kekuatan negara-negara dunia ketiga ke dalam kekuatan politik Non Blok. Kemudian kekuatan Dunia Ketiga ini oleh Bung Karno disebut dengan New Emerging Forces (Nefo). Dengan penuh keyakinan Bung Karno mengharapkan bahwa kekuatan Dunia Baru yang terdiri dari kekuatan negara-negara Islam, Sosialis dan Nasionalis ini dapat mengurangi dan menghalangi serta membebaskan negara-negara Asia dan Afrika dari belenggu dominasi dua kekuatan dunia.

Untuk mendapat dukungan dan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, dan dihadapkan dengan realitas sosial serta kehidupan politik saat itu, di dalam negeri Bung Karno membentuk kekuatan politik dengan mengembangkan strategi Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis). Strategi ini banyak menapat sorotan dan kritikan tajam dari berbagai pihak, baik di dalam negeri maupun luar negeri, karena dianggap memberikan peluang pada komunis untuk berkembang dan berpengaruh di Indonesia. Bahkan, strategi ini oleh lawan politik Bung Karno, terutama yang memihak kepentingan kaum kapitalis dan imperialis, dipakai sebagai alat untuk menyerang dan melemahkan posisi Bung Karno.

Menghadapi serangan itu, sikap nonekonomi Bung Karno terhadap imperialisme modern semakin radikal. Sebagai upaya menegakkan kedaulatan di bidang politik, salah satu strategi yang diterapkan Bung Karno adalah menarik diri dari PBB, yang saat itu dipandang sebagai instrumen imperialisme modern dalam rangka memenuhi hasrat menguasai dunia ketiga.

Kedua, untuk tidak tergantung dengan kapitalis dan imperialis, Bung Karno berusaha menegakkan kedaulatan ekonomi dengan prinsip self help dan self reliance. Pada tararan nasionalis diterapkan sistem ekonomi Berdikari bersifat self containing. Kekuatan ekonomi rakyat diupayakan lepas dari bayang-bayang dan pengaruh imperialisme modern. Sistem ekonomi Berdikari bukan tertutup untuk investasi asing, tetapi memperluas kerjasama internasional yang sejajar dan saling menguntungkan, serta tidak menciptakan ketergantungan.

Ketiga, dalam bidang budaya diupayakan Berkepribadian dalam Kebudayaan. Secara konsisten Bung Karno menekankan bahwa perlu mengikis eksistensi budaya feodalis.

Penutup
Dari paparan di atas dapat kita cermati bahwa paham nasionalisme humanis Bung Karno tidak hanya dijadikan sebagai landasan utama perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia, tetapi juga diupayakan sebagai dasar untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan universal, dengan mengorbankan toleransi dan semangat nasionalisme negara-negara dunia ketiga, agar terbebas dari penindasan dan ekploitasi. Juga dapat dicermati bahwa paham nasionalisme humanis dikonstruksikan berdasarkan pada prinsip humanistik egaletarian, menolak individualisme dan menolak dengan tegas penindasan (eksploitasi) serta menyerukan berjuang secara revolusioner untuk menghancurkan sistem kapitalis dan imperialis yang menindas anak manusia.
Memperjuangkan kebebasan, menegakkan kesamaan, keadilan, kedaulatan dan self suffcient (kemandirian) adalah jalan untuk menciptakan dunia baru yang damai. Tetapi, mengapa paham nasionalisme humanis seakan dilupakan dalam mencari jalan keluar persoalan yang dihadapi bangsa akhir-akhir ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar